Selasa, 23 September 2014

Etika Pergaulan Murid dengan Guru


Imam Syafi’i Rhodiyallahu anhu berkata :

أَلَا لَنْ تَنَالُوْا اْلعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ, سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاصْطِبَارٌ وَبُلْغَةٌ وَ إِرْشَادُ أُسْتَاذٍ وَ طُوْلُ زَمَانٍ
“Ketahuilah bahwa engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam hal, Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu secara terperinci: Kecerdasan, ketamakan (rakus terhadap ilmu), kesabaran, bekal, petunjuk guru, dan waktu yang panjang.”  

             Menurut Imam Syafi’i, seorang murid (penuntut ilmu) tidak akan sampai kepada tujuannya dalam menuntut ilmu kecuali ia bisa memenuhi 6 perkara. Perkara pertama adalah kecerdasan, hal ini berbeda dengan kepintaran. Seorang yang ingin mendapatkan ilmu tidak harus orang yang pintar, melainkan orang yang cerdas. Jika ia memiliki kelemahan dalam memahami materi pelajaran, dengan kecerdasannya ia akan berusaha untuk mencari metode yang sesuai bagi dirinya untuk memahami materi tersebut, atau dengan kecerdasannya, ia akan mencari tahu dari teman-teman yang sudah memahami hal tersebut. Maka penuntut ilmu haruslah cerdas.
            Hal kedua adalah ketamakan atau kerakusan terhadap ilmu. Maka bagaimana bisa seorang pelajar mendapatkan ilmu sementara ia tidak rakus terhadap ilmu itu sendiri. Jika kita bayangkan seorang yang rakus dalam makan saja, ia akan berusaha untuk menghabiskan semua makanan yang dihidangkan untuknya. Maka seperti itulah seharusnya seorang pelajar yang baik, ia akan menggali terus wawasan dari berbagai sumber dan tidak pernah merasa puas dengan yang gurunya sampaikan di kelas.
            Hal ketiga adalah kesabaran. Sabar untuk memahami setiap materi yang ada, sabar untuk hadir setiap hari ke sekolah, sabar untuk tetap fokus mendengarkan penjelasan dari guru, sabar untuk mengerjakan setiap tugas yang diberikan guru dengan penuh keikhlasan, serta sabar menghadapi berbagai macam pola mengajar guru.
            Hal keempat yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu adalah bekal, baik berupa harta atau tenaga. Tidak dapat dipungkiri, untuk belajar kita membutuhkan buku pelajaran dan alat tulis, pun untuk menghadirkan kenyamanan dalam belajar dibutuhkan tempat yang nyaman guna mendukung kegiatan belajar mengajar. Yang semua itu memerlukan materi untuk mencukupinya.
            Hal kelima yang harus ada adalah petunjuk dan bimbingan seorang guru. Karena belajar tanpa seorang pembimbing maka bisa jadi setan akan menjadi pembimbingnya, yang akan menyesatkannya. Sebagaimana para Rasul saja, mendapatkan ilmu pengetahuan yang luas dari pembimbingnya, yaitu Allah SWT melalui perantara malaikat jibril.
            Hal terakhir yang dibutuhkan oleh seorang penuntut ilmu agar segala tujuannya dalam belajar bisa tercapai adalah waktu yang panjang. Sebagaimana kita rasakan hingga saat ini, kita sudah belajar sejak kita kecil, dan dibutuhkan waktu bertahun-tahun hingga saat ini. Itupun belum cukup, kita akan melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Bahkan Rasulullah saw pernah bersabda:
أُطْلُبُوا اْلعِلْمَ مِنَ اْلمَهْدِ إِلَي الَّلهْدِ
“Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat.”

            Hadits tersebut merupakan isyarat bahwa kewajiban menuntut ilmu merupakan kewajiban seumur hidup bagi setiap muslim. Maka sungguh aneh rasanya jika ada remaja muslim yang mengeluh dengan kegiatan menuntut ilmu yang dijalaninya, padahal tugasnya sebagai pelajar masih sangat panjang dan baru akan terhenti ketika ruh meninggalkan jasad.
            Dari keenam syarat menuntut ilmu tersebut, saya akan coba membahas lebih dalam tentang syarat yang kelima, yaitu dibutuhkan petunjuk guru. Jika Imam syafi’i menjelaskan bahwa seorang murid membutuhkan seorang guru untuk sampai kepada tujuannya dalam belajar, maka pasti dibutuhkan tata cara dalam bergaul antara murid dengan gurunya.
            Seorang guru merupakan pengganti orang tua bagi anak didiknya, bahkan mewarisi sifat Tuhan bagi hambanya, seperti sabda Rasulullah saw:
أَدَّبَنِيْ رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ
“Tuhanku telah mendidikku, maka akhlakku menjadi baik.”

            Jika dikaitkan dalam fungsinya sebagai pengganti orang tua bagi anak didiknya, maka salayaknya etika seorang anak terhadap orang tuanya, seperti yang sudah dibahas dalam kesempatan sebelumnya, maka seorang murid tidak boleh mengucapkan kata “ah” ketika berbicara dengan seorang guru, terlebih sampai berkata kasar kepadanya. Hal tersebut juga tersirat sebuah pengertian bahwa tidak patut seorang murid membicarakan hal-hal yang tidak baik tentang gurunya di belakangnya atau menirukan gaya berbicara, berjalan, dan bersikap untuk dijadikan bahan guyonan dengan teman-temannya. Karena gurumu adalah orang tuamu, maka perlakukanlah beliau dengan sebaik-baiknya budi pekerti, bertuturlah dengan ucapan santun lagi penuh penghormatan, dengarkanlah penjelasannya dengan penuh antusias dan sikap menghargai, tunjukkan sikap penghormatanmu terhadapnya di hadapannya maupun di belakangnya. Karena tanpa jasa gurumu itu, engkau adalah manusia bodoh tanpa ilmu. Karena tanpa kesabarannya itu, engkau tidak akan memahami apa yang kini engkau pahami, karena tanpa ketulusan dan doa-doanya itu, mungkin engkau tidak bisa mencapai kesuksesanmu kini dan akan datang.
            Seorang guru jika dimaknai sebagai wakil Allah SWT dalam membina dan mendidik umat manusia di dunia, maka sikap yang harus ditunjukkan seorang murid seharusnya adalah sikap seorang budak kepada tuannya. Yang mengabdi dengan penuh ketulusan, mengikuti setiap perintah tuannya. Hal tersebut dicontohkan oleh sahabat Rasulullah saw yang sekaligus merupakan sepupu dan menantu beliau, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Tholib, ketika dalam suatu perbincangan dengan para sahabat beliau bertanya: “adakah di antara kalian yang tahu cara membedakan anjing yang sudah (dewasa) dengan yang belum?” Kemudian seorang anak kecil yang kebetulan berada di dekat situ mendengar pertanyaan belian dan menjawabnya: “cara membedakannya adalah, jika anjing yang sudah dewasa ia akan buang air kecil dengan mengangkat sebelah kakinya” sejak saat itu, Ali bin Abi Thalib memuliakan anak tersebut dan menganggapnya sebagai seorang gurunya, dan ia pun berkata: “Aku adalah budak bagi siapapun yang mengajarkanku walau hanya satu huruf”.
            Jika seorang sahabat terdekat Rasulullah saw yang memiliki kemuliaan di sisi Allah dan Rasul-Nya saja berkata demikian, bahkan Rasulullah mengibaratkan jika beliau sebagai kota ilmu, maka Ali adalah pintunya. Maka betapa bodohnya jika ada seseorang di antara kita yang berani bersikap tidak baik terhadap seorang guru, yang berani berkata kasar kepadanya, bahkan menjadikan gurunya bahan lelucon di antara teman-temannya.
Wahai para budak, sahabat Rasulmu saja menganggap dirinya budak bagi seseorang yang hanya mengajarkan satu huruf kepadanya, bahkan terhadap seorang anak kecil yang mengajarkan sesuatu yang sebenarnya hal sepele baginya. Maka bagai mana bisa engkau bersikap tidak baik kepada orang yang sudah mengajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan kepadamu? Renungkanlah itu wahai orang-orang yang beriman.
Seorang guru memanglah bukan Tuhan. Karena seorang guru pun hanya manusia biasa yang pasti memiliki banyak kesalahan, namun seberapa besar pun kesalahan seorang tuan kepada budaknya, tidak patut seorang budak berbuat tidak baik dan menghukum tuannya. Taatilah gurumu sebagaimana ketaatanmu kepada orang tuamu, taatilah gurumu selama tidak ada perintahnya yang bertentangan dengan perintah Tuhanmu, taatilah gurumu karena berkat ilmu, ketulusan, kesabaran, dan doa-doanya juga insya Allah akan mudah jalan kesuksesanmu kelak.
Sebagaimana ketulusan orang tua kepada anaknya, maka tidak ada kebahagian yang lebih membahagiakan bagi setiap guru, selain melihat dan mendengar anak-anak didiknya mencapai kesuksesannya masing-masing. Waktu kebersamaan kita pun tidak lama, maka berbuatlah yang terbaik untuk gurumu, karena pada saatnya nanti engkau akan terbang ke langit biru tuk menggapai semua cita-cita mu, dan kami, gurumu, hanya akan tetap di sini, memandangmu terbang menjauh ke langit itu, sambil terus mengiringi kepergianmu dengan untaian doa tulus tanpa henti dari dasar lubuk hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar