Imam Syafi’i Rhodiyallahu anhu
berkata :
أَلَا لَنْ تَنَالُوْا اْلعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ, سَأُنْبِيْكَ عَنْ
تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاصْطِبَارٌ وَبُلْغَةٌ وَ إِرْشَادُ
أُسْتَاذٍ وَ طُوْلُ زَمَانٍ
“Ketahuilah bahwa engkau tidak akan mendapatkan
ilmu kecuali dengan enam hal, Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu secara
terperinci: Kecerdasan, ketamakan (rakus terhadap ilmu), kesabaran, bekal,
petunjuk guru, dan waktu yang panjang.”
Menurut Imam Syafi’i, seorang murid (penuntut
ilmu) tidak akan sampai kepada tujuannya dalam menuntut ilmu kecuali ia bisa
memenuhi 6 perkara. Perkara pertama adalah kecerdasan, hal ini berbeda dengan kepintaran.
Seorang yang ingin mendapatkan ilmu tidak harus orang yang pintar, melainkan
orang yang cerdas. Jika ia memiliki kelemahan dalam memahami materi pelajaran,
dengan kecerdasannya ia akan berusaha untuk mencari metode yang sesuai bagi
dirinya untuk memahami materi tersebut, atau dengan kecerdasannya, ia akan
mencari tahu dari teman-teman yang sudah memahami hal tersebut. Maka penuntut
ilmu haruslah cerdas.
Hal kedua adalah
ketamakan atau kerakusan terhadap ilmu. Maka bagaimana bisa seorang pelajar mendapatkan
ilmu sementara ia tidak rakus terhadap ilmu itu sendiri. Jika kita bayangkan
seorang yang rakus dalam makan saja, ia akan berusaha untuk menghabiskan semua
makanan yang dihidangkan untuknya. Maka seperti itulah seharusnya seorang
pelajar yang baik, ia akan menggali terus wawasan dari berbagai sumber dan
tidak pernah merasa puas dengan yang gurunya sampaikan di kelas.
Hal ketiga adalah
kesabaran. Sabar untuk memahami setiap materi yang ada, sabar untuk hadir
setiap hari ke sekolah, sabar untuk tetap fokus mendengarkan penjelasan dari
guru, sabar untuk mengerjakan setiap tugas yang diberikan guru dengan penuh
keikhlasan, serta sabar menghadapi berbagai macam pola mengajar guru.
Hal keempat yang
harus dimiliki seorang penuntut ilmu adalah bekal, baik berupa harta atau
tenaga. Tidak dapat dipungkiri, untuk belajar kita membutuhkan buku pelajaran
dan alat tulis, pun untuk menghadirkan kenyamanan dalam belajar dibutuhkan
tempat yang nyaman guna mendukung kegiatan belajar mengajar. Yang semua itu memerlukan
materi untuk mencukupinya.
Hal kelima yang
harus ada adalah petunjuk dan bimbingan seorang guru. Karena belajar tanpa
seorang pembimbing maka bisa jadi setan akan menjadi pembimbingnya, yang akan
menyesatkannya. Sebagaimana para Rasul saja, mendapatkan ilmu pengetahuan yang
luas dari pembimbingnya, yaitu Allah SWT melalui perantara malaikat jibril.
Hal terakhir yang
dibutuhkan oleh seorang penuntut ilmu agar segala tujuannya dalam belajar bisa
tercapai adalah waktu yang panjang. Sebagaimana kita rasakan hingga saat ini,
kita sudah belajar sejak kita kecil, dan dibutuhkan waktu bertahun-tahun hingga
saat ini. Itupun belum cukup, kita akan melanjutkan ke tingkat yang lebih
tinggi lagi. Bahkan Rasulullah saw pernah bersabda:
أُطْلُبُوا
اْلعِلْمَ مِنَ اْلمَهْدِ إِلَي الَّلهْدِ
“Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat.”
Hadits tersebut
merupakan isyarat bahwa kewajiban menuntut ilmu merupakan kewajiban seumur
hidup bagi setiap muslim. Maka sungguh aneh rasanya jika ada remaja muslim yang
mengeluh dengan kegiatan menuntut ilmu yang dijalaninya, padahal tugasnya
sebagai pelajar masih sangat panjang dan baru akan terhenti ketika ruh
meninggalkan jasad.
Dari keenam
syarat menuntut ilmu tersebut, saya akan coba membahas lebih dalam tentang syarat
yang kelima, yaitu dibutuhkan petunjuk guru. Jika Imam syafi’i menjelaskan
bahwa seorang murid membutuhkan seorang guru untuk sampai kepada tujuannya
dalam belajar, maka pasti dibutuhkan tata cara dalam bergaul antara murid
dengan gurunya.
Seorang guru
merupakan pengganti orang tua bagi anak didiknya, bahkan mewarisi sifat Tuhan
bagi hambanya, seperti sabda Rasulullah saw:
أَدَّبَنِيْ
رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ
“Tuhanku telah mendidikku, maka akhlakku
menjadi baik.”
Jika dikaitkan dalam fungsinya sebagai pengganti orang
tua bagi anak didiknya, maka salayaknya etika seorang anak terhadap orang tuanya,
seperti yang sudah dibahas dalam kesempatan sebelumnya, maka seorang murid
tidak boleh mengucapkan kata “ah” ketika berbicara dengan seorang guru,
terlebih sampai berkata kasar kepadanya. Hal tersebut juga tersirat sebuah
pengertian bahwa tidak patut seorang murid membicarakan hal-hal yang tidak baik
tentang gurunya di belakangnya atau menirukan gaya berbicara, berjalan, dan
bersikap untuk dijadikan bahan guyonan dengan teman-temannya. Karena gurumu
adalah orang tuamu, maka perlakukanlah beliau dengan sebaik-baiknya budi
pekerti, bertuturlah dengan ucapan santun lagi penuh penghormatan, dengarkanlah
penjelasannya dengan penuh antusias dan sikap menghargai, tunjukkan sikap
penghormatanmu terhadapnya di hadapannya maupun di belakangnya. Karena tanpa
jasa gurumu itu, engkau adalah manusia bodoh tanpa ilmu. Karena tanpa
kesabarannya itu, engkau tidak akan memahami apa yang kini engkau pahami, karena
tanpa ketulusan dan doa-doanya itu, mungkin engkau tidak bisa mencapai
kesuksesanmu kini dan akan datang.
Seorang guru jika
dimaknai sebagai wakil Allah SWT dalam membina dan mendidik umat manusia di
dunia, maka sikap yang harus ditunjukkan seorang murid seharusnya adalah sikap
seorang budak kepada tuannya. Yang mengabdi dengan penuh ketulusan, mengikuti
setiap perintah tuannya. Hal tersebut dicontohkan oleh sahabat Rasulullah saw
yang sekaligus merupakan sepupu dan menantu beliau, yaitu Sayyidina Ali bin Abi
Tholib, ketika dalam suatu perbincangan dengan para sahabat beliau bertanya: “adakah
di antara kalian yang tahu cara membedakan anjing yang sudah (dewasa) dengan
yang belum?” Kemudian seorang anak kecil yang kebetulan berada di dekat situ
mendengar pertanyaan belian dan menjawabnya: “cara membedakannya adalah, jika
anjing yang sudah dewasa ia akan buang air kecil dengan mengangkat sebelah
kakinya” sejak saat itu, Ali bin Abi Thalib memuliakan anak tersebut dan
menganggapnya sebagai seorang gurunya, dan ia pun berkata: “Aku adalah budak
bagi siapapun yang mengajarkanku walau hanya satu huruf”.
Jika seorang
sahabat terdekat Rasulullah saw yang memiliki kemuliaan di sisi Allah dan
Rasul-Nya saja berkata demikian, bahkan Rasulullah mengibaratkan jika beliau
sebagai kota ilmu, maka Ali adalah pintunya. Maka betapa bodohnya jika ada
seseorang di antara kita yang berani bersikap tidak baik terhadap seorang guru,
yang berani berkata kasar kepadanya, bahkan menjadikan gurunya bahan lelucon di
antara teman-temannya.
Wahai para budak,
sahabat Rasulmu saja menganggap dirinya budak bagi seseorang yang hanya
mengajarkan satu huruf kepadanya, bahkan terhadap seorang anak kecil yang
mengajarkan sesuatu yang sebenarnya hal sepele baginya. Maka bagai mana bisa
engkau bersikap tidak baik kepada orang yang sudah mengajarkan berbagai macam
ilmu pengetahuan kepadamu? Renungkanlah itu wahai orang-orang yang beriman.
Seorang guru memanglah
bukan Tuhan. Karena seorang guru pun hanya manusia biasa yang pasti memiliki
banyak kesalahan, namun seberapa besar pun kesalahan seorang tuan kepada
budaknya, tidak patut seorang budak berbuat tidak baik dan menghukum tuannya.
Taatilah gurumu sebagaimana ketaatanmu kepada orang tuamu, taatilah gurumu
selama tidak ada perintahnya yang bertentangan dengan perintah Tuhanmu,
taatilah gurumu karena berkat ilmu, ketulusan, kesabaran, dan doa-doanya juga
insya Allah akan mudah jalan kesuksesanmu kelak.
Sebagaimana ketulusan orang
tua kepada anaknya, maka tidak ada kebahagian yang lebih membahagiakan bagi
setiap guru, selain melihat dan mendengar anak-anak didiknya mencapai
kesuksesannya masing-masing. Waktu kebersamaan kita pun tidak lama, maka
berbuatlah yang terbaik untuk gurumu, karena pada saatnya nanti engkau akan
terbang ke langit biru tuk menggapai semua cita-cita mu, dan kami, gurumu,
hanya akan tetap di sini, memandangmu terbang menjauh ke langit itu, sambil
terus mengiringi kepergianmu dengan untaian doa tulus tanpa henti dari dasar
lubuk hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar